Sabtu, 17 Oktober 2020

Review Buku : The Chronicles of Ghazi 4

The Beginning of The Conquest

The Chronicles of Ghazi 4



Seri ke-4 dari The Chroncles of Ghazi yang meceritakan tentang perjalan penaklukan Konstationepel pada tahun 1453.


Setiap membeli buku baru saya selalu tulis tanda tangan 
dan tanggal beli bukunya

Pada buku ini, berfokus pada akhir perjalanan Mehmed mencari keberadaan pedang Damaskus yang dulu terkenal bersama Salahuddin Al-Ayyubi, dilanjutkan dengan pengangkatan pertama Mehmed menjadi Sultan namun terjadi pergolakan diantara pihak yang meragukan kemampuannya menjadi sultan. Selain itu, juga dikisahkan Vlad Dracula yang hampir putus asa dan mengikuti serangkaian ritual setan yang boleh dikatakan menjijikkan. Dilain tempat, Kristendom dibawah pimpinan Kaisar Roma yang baru (di bawah bayang-bayang Barbara Celje yang dikisahkan misterius dan berhubungan dengan hal mistis) merebut kembali wilayah Bulgaria dengan bengis, meninggalkan darah disetiap jalur mereka. Akhir bagian dari buku ini, meenceritakan pasukan salib yang bertemu dengan 2 orang Janisary yang mendakwahkan Islam kepada mereka, yang tentunya ditolak.

Lembar ilustrasi di setiap bab baru

Saya pribadi adalah seorang penikmat (baca doang) buku selama ini. Dan baru-baru ini berusaha untuk menulis review dari buku-buku yang saya baca. Jadi, buku ini adalah buku pertama yang langsung saya ulas segera setelah membacanya!. Buku ini melanjutkan keseruan dari 3 buku pendahulunya. Untuk saya yang ingin mengerti tentang sejarah, terutama sejarah islam, novel yang mengakar pada alur sejarah ini sangat membantu saya untuk mengerti dan memahami alur sejarah. Memang dialog merupakan imaji penulis, namun tetap saja pasti seluruh alur waktu, tempat dan cerita didasarkan pada sejarah yang benar (pengakuan dari penulis yang saya ketahui). Selain membaca buku ini, saya juga sambil membuka-buka wikipedia untuk mengetahui bagaimana kisah atau biografi sebenarnya dari tokoh-tokoh tersebut. Selain itu saya juga membuka google maps untuk mengetahui bagaimana bentuk tempat dan lokasi tempat itu.




Overall, karena sangat membantu saya untuk memahami, bintang 5 untuk buku ini!

Sekarang saya sedang menabung untuk membeli buku selanjutnya :D

Kamis, 15 Oktober 2020

Cerpen : Origami Pertama

             Guratan cahaya jingga yang tadi menyadarkanku sudah meredup. Aku tak tau bagaimana kita bisa berada di sini. Lusuh dan terkoyak. Guratan lumpur disekujur tubuhmu. Apakah kamu bisa bergerak? Ah, aku lupa kalau kau tak bisa mendengarkan aku. Dari tadi kau hanya terdiam, tergeletak tak bergerak. Apa kau memimpikan kejadian pagi tadi?

Saat seperti ini pula lah aku teringat dengan cerita masa lalu.

*

            Mentari pagi menerobos masuk ke dalam rumah. Kicau burung bersahut-sahutan. Seperti tau jika akan ada penghuni baru rumah ini. Hari itu seorang bayi lahir. Ia lahir di hari pertama musim semi, ketika bunga sakura malu-malu mulai menampakkan kelopaknya yang cantik. Hari itu kakek bahagia sekali. Cucu pertamanya telah lahir ke dunia. Setidaknya saat itu kakek menganggap bayi itu adalah cucu pertamanya. Sesaat setelah tangis pertamanya memecahkan keheningan, sang ibu yang tadi merasakan sakit tersenyum bahagia dan perlahan sinar matanya meredup.      

Dokter tua itu keluar dari dalam kamar, “Tuan Takeshi, cucu laki-laki anda lahir dengan sehat dan...”

            “Syukurlah, Terimakasih dewa. Apakah saya boleh melihat mereka?”

            “Maaf, saya ingin mengatakan ini sebelumnya. Tapi Anaru sudah tidak ada. Saya turut berduka cita Tuan”

Hujan paku tiba-tiba saja menghujani jantung lelaku tua yang tadi bahagia itu. Kakek bingung. Ditinggalkan anak semata wayangnya 6 bulan yang lalu sudah cukup menghancurkan hatinya. Kini, ibu dari cucu satu-satunya pun telah pergi untuk selama-lamanya. Kini dilihatnya bayi lelaki itu lamat-lamat. Rasa kasihan dan bahagia tumpah dari matanya.

            “Jintan. Kuberi kau nama Jintan. Seperti ayahmu.”

*

            Hari- hari Jintan dihabiskan seperti anak-anak lainnya. Bermain, tertawa, menangis, bermain, tertawa lagi, hingga rasa kantuk datang di penghujung hari. Jintan benar-benar merasakan kasih sayang dari kakeknya. Kakek yang kini  rambut hitam hanya ada sedikit di sela-sela rambutnya itu masih memiliki senyum yang sama seperti di foto ketika ia masih muda.

Kakek adalah seorang pengrajin tanah liat-ribuan guci mungkin yang sudah dibuat oleh tangan kasarnya itu. karyanya ada di ruang keluarga, Rumah wali kota atau mungkin ada di meja rias ratu Inggris, entahlah. Tak ada yang tau. Kakek juga bisa memiliki banyak kemampuan lain, sperti membuat layang-layang, membuat binatang lucu dari kertas, dan banyak lagi. Satu hal yang pasti, pekerjaan kakek yang selalu di rumah membuat kakek bisa selalu merawat dan menjaga Jintan.

Jintan tak pernah bertemu dengan orang tuanya. Hanya foto-foto lama yang bisa membuatnya menatap wajah keedua orang tuanya. Hanya selembar foto hitam putih lusuh yang dulu tersimpan di dompet kakek yang bisa membuatnya merasa terhubung kembali dengan kedua orang tuanya.

            “Ayah mu sangat suka laut. Sehingga, untuk terus hidup dalam mimpinya, ia menjadi seorang nahkoda jintan. Ia sudah mengarungi lautan luas Jintan. Kau sebut saja Galapagos, Tanduk Emas, India, Semenanjung Malaka, sudah pernah dia singgahi. Namun kehendak dewa tak terbantahkan. Amukan laut membawa nya dan juga kapalnya menuju palung terdalam yang tak pernah dijamah manusia hidup.” Kenang kakek denga guratan kesedihan yang kembali muncul di sudut mata kakek.

            “Ibumu?” Kakek seperti bisa membaca pikiran ku dan melanjutakn ceritanya.

            “ Ia bak bidadari yang dapat meluluhkan hati ayahmu. Mereka bertemu di negri Campa. Ibumu adalah keturunan bangsawan campa yang juga emiliki darah Jepang. Mereka kemudian menikah dan menetap di sini. Kehidupan mereka sangat bahagia. Sangat bahagia. Apalagi ketika mereka tau akan segera dianugrahi seorang anak.” Tiba-tiba dia tercekat

“Sudah, sekarang cepat habiskan makananmu dan berangkat ke sekolah”.

Ah, Mereka adalah idolaku batin mu. Aku ingin menjadi seperti ayah. Bisa berkeliling dunia. Bukan hal yang mustahil, tapi aku ragu kau bisa melakukannya sekarang.

*

Hari ini adalah hari pertama setelah libur musim panas yang panjang. Kelas terasa membosankan mengingat dua hari yang lalu kakek masih mengajarkan Jintan dengan sabar bagaimana cara membuat binatang-binatang lucu dari kertas.

 “Jika kalian bisa membuat seribu bangau, dewa di atas langit akan mengabulkan permintaan kalian” Jelas bu guru di depan kelas. Kata-kata bu guru tadi siang terngiang dari tadi di telinganya. Benarkah itu? apakah dengan membuat seribu bangau, bisa mengabulkan keinginan Jintan?

*

“Setelah dilipat dua, lalu bentuk seperti serbet dan begini, lalu kembangkan sayapnya” kata kakek, Jintan memperhatikan kakek dengan seksama.

“Apakah kau ingin membuat seribu bangau, Jintan? Ah, kalau begitu orang tua ini juga akan membuat seribu bangau”

“Untuk apa kek?”

“Jelas untuk mu, Jintan”        

Kau gembira sekali. Aku juga gembira. Sejak saat itu walaupun tanpa kata-kata kita seperti mengikrarkan janji untuk selalu bersama-sama, menyelesaikan misi ini. Seribu bangau untuk bertemu ibu.

Aku selalu ada di tepi jendela. Apakah aku suka? Entahlah, hanya saja sinar matahari tersa sangat menyegarkan bagiku. Apalagi, dari sini aku bisa melihatmu dengan giat membuat bangau-bangau lucu itu.

“Empat ratus delapan puluh tiga” Kau berteriak senang. Saat itu kau sudah kelas lima. Kemajuan yang umayan, mengingat kau hanya membuat satu bangau setiap dua atau tiga hari. Terlalu sibuk batinmu. Aku tidak tau apakah baseball dan membaca komik adalah salah satu faktor kesibukan mu yang membuat kau lalai dari misi membuat bangau-bangau ini.

*

            Kau adalah anak yang periang dan aktif. Aku bisa tau karena kau memiliki banyak teman. Hampir setiap hari kau pasti pulang bersama teman-teman mu. Jika aku jadi teman disekolah mu, aku juga pasti akan terus pulang bersama mu, kau tau? Kau punya wajah yang lucu, jika kata anak perempuan yang girang setelah mlambaikan tangan perpisahan sebelum bertemu besok pagi disekolah adalah tampan­. Namun aku tak setuju.

Kakek selalu mengajak kita untuk makan malam bersama. Entah siapa yang memasak. Aku tak tau, aku tak pernah melihat kakek pergi ke dapur atau memang aku yang tidak pernah memperhatikan kakek? Entahlah, hanya saja sepertinya makan malam kali ini cukup lezat. Kalian takzim sekali berbagi cerita hari ini. Kakek juga

*

Pagi, 3 Maret yang aneh. Hari ini kabut menyelubungi kota. Kau tak tau mengapa. Lalu kau bergumam di depan jendela, didekatku, “kenapa gelap sekali pagi ini?” Mata mu sembab. Tapi kau dengan jelas melihat orang-orang beraktivitas seperti biasa. Lalu kau kembali tertidur.

            Masa remaja membawa mu ke dunia yang lebih mengasyikkan. Menonton, jalan-jalan, menghabiskan sore bersama teman-teman, Pesta ulang tahun Yuki-sahabat barumu-, pergi jajan di festival. Kau kini sibuk dengan dunia mu. Jintan sekarang sudah berubah. Tidak lagi seperti dulu. Bukan anak-anak yang selalu tunjuk tangan ketika guru bertanya di kelas. Tidak lagi jintan yang disukai orang di sekolahan.

Jintan yang kini suaranya seperti bass yang nyaring mulai mengecat rambutnya. Putih mungkin menarik, dulu kau pikir. Bukan ide yang agus tapi kau pede saja dengannya. Teman-teman mu mulai berubah, tidak lagi orang-orang menyenangkan di samping rumah. Hanya preman-preman SMA yang selalu ada di samping mu. Bosan kau bilang. Aku tak tau, apakah mendapat nilai bagus di sekolah dapat membuat seseorang bosan.

Kakek selalu sabar menghadapi mu. Kakek sudah membiarkan mu memutuskan sendiri keinginan mu semenjak kau berusia 17 tahun. Kau memaksa kakek begitu karena dulu kakek melepas ayah di usia 15 tahun. Kakek tidak bisa marah, ia menyetujuinya dan hanya bisa menasihati mu.

Kau mulai pulang malam sekarang. Semenjak kuliah di universitas kau berubah. Terkadang aku bisa mencium bau menyengat dari kemeja mu yang lembab. “Tertumpah minuman teman” kau bilang dengan setengah sadar. Padahal mulut mu juga mengeluarkan aroma yang sama.

Sudah lama kau tidak melakukan makan malam dengan kakek, terkadang kau pulang saat kakek sudah menyiapkan makan malam namun kau melewatinya dan langsung masuk ke kamar. Mengurung diri. Aku lupa kapan tepatnya kau mulai melakukan hal aneh seperti ini. Ah, aku ingat. Saat pagi berkabut itu kau tak sengaja melihat dokumen-dokumen ayah. Salah satunya adalah surat perceraian dan secarik kertas. Kalau aku tidak salah, isinya tentang ayah mu yang sudah tidak mencintai ibu mu lagi.

Kau menyesal dengan keputusan mu yang mengidolakan ayah mu. Kamu marah kepada kakek mu yang selalu mengatakan hal-hal baik tentang nya. Padahal dia sudah meninggal, kenapa harus menutupi kesalahan-kesalahannya? Kau termenung lama menatapi langit-langit kamar. “sembilan ratus sembilan puluh sembilan” Tiba-tiba kau teringat dengan angka itu. kau baru akan menggenapkannya ketika saatnya sudah tepat. Baru saat ini kau sada akan janjimu unutuk membuat bangau. “Ah, persetan” kau mengamuk lalu jatuh tertidur.

Pagi itu seperti biasa. Kakek bangun pagi seperti yang biasa ia lakukan. Aku terus ada di depan jendela. Terduduk. Pagi ini aku mungkin kau juga mendengar suara kakek yang terbatuk batuk. Tak jelas apa gumamannya. Mungkin itu penyakit tuanya. Badan kakek yang dulu kuat sudah tak bisa diandalkan lagi Tangannya yang dulu begitu teliti kini tak bisa diajak untuk membuat karya bagus lagi.

            “Jintan, apakah kau sudah sarapan?”

            “Aku tidak lapar. Aku akan langsung pergi” kau menjawab ketus sambil memasang tali sepatu.

            “Kemarilah, suah lama kau tidak bercerita dengan orang tua ini. Kemari dan makan lah”

Otaknya berontak tak mau, ia ingin segera pergi bertemu dengan temannya tapi hatinya seperti mengambil alih seluruh kerangkanya dan membawa Jintan duduk di depan kakek.

            “Makan lah dulu, kau harus kuat. Sepertinya cucu kakek semakin bertambah kurus” sambil menyodorkan kari hangat.

            “Kenapa kakek dulu berbohong tentang ayah? Tentang ibu? Tentang hubungan mereka? Apakah aku tidak layak tau tentang itu? kenapa kakek merahasiakannya dari ku?” Tiba-tiba pertanyaan yang dipendamnya sejak dulu keluar dari mulutnya. Kakek yang tadi masih memegang sumpit lalu meletakkan sumpitnya.

            “Aku sudah tau kau akan bertanya sepeti ini. Aku tidak pernah ingin mengatakannya. Karena aku sudah bejanji kepada diriku sendiri unuk tidak mengatakan itu langsung kepada mu. Biarlah kaus endiri yangtau. Namun karena kelalaianku, kau tau sebelum kau dewasa, Jintan. Kau tak siap untuk mendengarnya. Begitupun kakekmu ini yang tak siap menghadapi perubahan mu itu. Jantungku tak sanggup menerima kelalaianku menjaga mu, Jintan. Aku lupa menyembunyikan berkas itu. Jantung ini begitu lemah, terakhir aku melihat dirimu terduduk memanggil namaku. Apakah kau lupa? Maafkan lah kakek Jintan. Aku hanya tidak siap untuk memberitahumu tentang kebenaran ayahmu, Jintan. Namun biarlah ini menjadi penyesalan ku saja. Ingat seribu bangau yang dulu aku buat? Bangau-bangau itulah yang membuatku tetap ada hingga saat ini, tetap berada disamping mu Jintan. Mungkin rasa syok itu menutup memori mu pada tanggal 3 maret itu. Aku tepat dikubur tanggal 3 maret tahun itu. Tapi yakinlah, aku masih berada di sini sampai saat ini”

Jintan, kau lalu masuk ke kamar, melihat aku di sudut jendela. Berdebu. Kau seperti melihat hantu. Kau teringat dengan bangau itu. kau teringat dengan pagi berkabut itu. Kau menggenggamku, berlari menuju tempat kerja kakek. Berantakan tak terurus. Kita kembali ketempat kakek. Menagis, tersedu.

            “Selama ini aku masih hidup di situ. Tapi saat ini kau sudah dewasa, sangat dewasa. Kau tau apa yang harus kau lakukan.” Kakek menunjuk Jintan tepat di arah jantungnya. Kau ingin memeluk kakek,  namun terlambat, kini bayangan kakek pun tak bisa kita lihat.

Kau berteriak. Kau meremasku marah. Ingin ku berontak, namun aku hanyalah secarik kertas yang kakek buat menjadi bangau kecil. Aku tak bisa melakukan apapun. Jangankan menghiburmu, berontak dari genggamanmu pun aku tak sanggup.

Hati mu murka. Seperti tau apa yang sedang terjadi, Tanah pun mulai bergetar. Hebat sekali, lampu bergerak nai turun. Meja-meja bergeser. Aku seperti mendengar tanah yang merekah di luar sana. Kau segera menyelamatkan diri dengan aku masih tergenggam di tangan mu. Kita berlari. Ke tempat yang lebih luas. Benar saja, ternyata tanah di jalan sebrang telah ternganga seperti luka di hati mu yang merekah lebar. Ketika kau menganggap guncangan bumi membalas amarah mu tadi. Kau ternyata salah, satu menit berlalu setelah guncangan tadi berhenti. Dua menit, sepuluh menit, kau masih terduduk di tengah jalan. Kakek, kenapa aku tidak bisa mengingat hari itu.

“Aku menyesal, tapi aku pun tak tau apa yang harus disesali”.

Kau teringat dengan 999 bangau yang telah kau buat, kau kembali ke dalam rumah yang telah miring 15 derajat itu. belum sempat kita melangkah, amukan air datang menerpa. Amukannya menyapu apapun yang ada dihadapannya. Aku takut. Kau takut. Kita berlari menjauh, kau masih menggenggamku. Namun arus air itu seperti ingin membersihkan penyesalan-penyesalan yang bertaburan ditengah kita ini. Air menyapu tubuhmu. Kau masih menggenggam ku.

*

            Kau bergerak sedikit, mencoba bangun. Badan mu mati rasa, tapi masih bergerak. Kini aku secarik kertas yang koyak. Kenapa dulu aku tidak mengingatkanmu untuk menyelesaikan misi kita?

Kini kau berdiri dihadapan kapal tua, di tengah lapangan yang aku yain tadi adalah perumahan di tengah kota.[Faturiha]

Cara Pemula Mulai Menulis

Ditengah pandemi bulan ke-7 di Indonesia, masih berjibaku dengan skripsi yang belum aku selesaikan dan masih bingung bagaimana cara menulisnya dengan benar. Kali ni aku akan membahas sesuatu tentang menulis.

Menulis. Iya, menulis. Kata kerja itu yang sedang aku lakukan sekarang. Barusan banget, aku membaca blog Sayf Muhammad Isa yang aku kenal dari buku The Chronicle of Ghazi ft. Ustadz Felix Siauw. Tulisan pertama di dalam blog itu mengulas tentang buku, perpustakaan, membaca, dan menulis. Tidak semua orang yang rajin membaca dan menulis menjadi orang besar, namun orang besar pasti rajin membaca dan menulis.

Oke, selama ini, aku sudah (individually thought) banyak membaca. Semua buku yang sudah aku baca sepertinya sudah aku ceklist di goodreads. Total ada 100 buku lebih sedikit. Itu masih sedikit dan kebanyakan novel roman atau yang sejenis. Selama ini aku menuliskan kalau hobiku adalah membaca dan menulis, namun tidak pernah ada yang istikomah. Membaca, iya membaca, namun hanya judul atau penulis tertentu, lalu sudah. Selesai, lanjut ke urusan yang lainnya. Menulis, pernah sih aku mendapat urutan 2 menulis cerpen tingkat fakultas ketika aku masih tingkat 3 kalau tidak salah. And that’s it. Gak ada lagi. Mungkin motivasiku untuk menulis masih salah at that time.

Sekarang aku berusaha untuk istikomah menulis. Karena kata ustad Felix, kalau mau mahir menulis “ya sudah, tulis, mulai menulis” dan persis itu adalah yang aku lakukan. Well, kalau kalian orang yang baru mengenalku, kenapa sih dari tadi referensinya ustad Felix? Ya karena belakangan ini aku sering mengikuti ‘kajian online’ beliau. Karena gaya bicaranya yang logis dan lugas. Bukan berarti aku tidak menerima ataupun tidak menyukai tokoh lainnya, hanya saja saat ini aku masih belajar untuk membaca, mendengar dan menulis lebih banyak yagi sepert contohnya pada tulisan ini (hehehe).

Kembali pada tulisan pertama Sayf Muhammad Isa pada blognya. Judul entri pertama itu ‘Fetih Sultan Mehmet Punya Nama Pena?’ atau yang lebih terkenal dengan Sultan Al-Fatih sang penakluk Konstatinopel. Nama pena beliau adalah Avni. Kata Sayf dari nama si penulis ini sendiri merupakan nama pena yang diambil dari bahasa Arab yang artinya pedang. Untuk itu, karena aku sudah memulai menulis ini dari awal, dan berusaha untuk bisa rajin menulis kedepannya, aku menetapkan bahwa nama penaku adalah Faturiha. Kata Faturiha sendiri terinspirasi dari seseorang yang menjuluki aku dengan nama lucu, Fatur. Di akhir tahun 2010, ketika aku mulai membuat email, inisial itu yang pertama kali muncul dan aku membuat nama Faturiha. Kata Fatur itu juga berasal dari bahasa Arab yang artinya berpengetahuan, bersemangat dan indah. Kata –riha ditambahkan untuk menunjukkan bahwa aku adalah seorang perempuan dan sedikit berirama dengan nama asliku (hehehe). Jadi, dengan nama Faturiha ini aku berharapkan tulisan-tulisan yang selanjutnya akan aku untai akan menambah pengetahuanku, ditulis dengan semangat dan menghasilkan tulisan yang indah juga tentunya

Salam semua!

Review Buku : The Chronicles of Ghazi 4

The Beginning of The Conquest The Chronicles of Ghazi 4 Seri ke-4 dari The Chroncles of Ghazi yang meceritakan tentang perjalan penaklukan K...