Guratan cahaya jingga yang tadi
menyadarkanku sudah meredup. Aku tak tau bagaimana kita bisa berada di sini.
Lusuh dan terkoyak. Guratan lumpur disekujur tubuhmu. Apakah kamu bisa
bergerak? Ah, aku lupa kalau kau tak bisa mendengarkan aku. Dari tadi kau hanya
terdiam, tergeletak tak bergerak. Apa kau memimpikan kejadian pagi tadi?
Saat
seperti ini pula lah aku teringat dengan cerita masa lalu.
*
Mentari pagi menerobos masuk ke
dalam rumah. Kicau burung bersahut-sahutan. Seperti tau jika akan ada penghuni
baru rumah ini. Hari itu seorang bayi lahir. Ia lahir di hari pertama musim
semi, ketika bunga sakura malu-malu mulai menampakkan kelopaknya yang cantik.
Hari itu kakek bahagia sekali. Cucu pertamanya telah lahir ke dunia. Setidaknya
saat itu kakek menganggap bayi itu adalah cucu pertamanya. Sesaat setelah
tangis pertamanya memecahkan keheningan, sang ibu yang tadi merasakan sakit
tersenyum bahagia dan perlahan sinar matanya meredup.
Dokter
tua itu keluar dari dalam kamar, “Tuan Takeshi, cucu laki-laki anda lahir dengan
sehat dan...”
“Syukurlah, Terimakasih dewa. Apakah
saya boleh melihat mereka?”
“Maaf, saya ingin mengatakan ini
sebelumnya. Tapi Anaru sudah tidak ada. Saya turut berduka cita Tuan”
Hujan
paku tiba-tiba saja menghujani jantung lelaku tua yang tadi bahagia itu. Kakek
bingung. Ditinggalkan anak semata wayangnya 6 bulan yang lalu sudah cukup
menghancurkan hatinya. Kini, ibu dari cucu satu-satunya pun telah pergi untuk
selama-lamanya. Kini dilihatnya bayi lelaki itu lamat-lamat. Rasa kasihan dan
bahagia tumpah dari matanya.
“Jintan. Kuberi kau nama Jintan.
Seperti ayahmu.”
*
Hari- hari Jintan dihabiskan seperti
anak-anak lainnya. Bermain, tertawa, menangis, bermain, tertawa lagi, hingga
rasa kantuk datang di penghujung hari. Jintan benar-benar merasakan kasih
sayang dari kakeknya. Kakek yang kini
rambut hitam hanya ada sedikit di sela-sela rambutnya itu masih memiliki
senyum yang sama seperti di foto ketika ia masih muda.
Kakek
adalah seorang pengrajin tanah liat-ribuan guci mungkin yang sudah dibuat oleh
tangan kasarnya itu. karyanya ada di ruang keluarga, Rumah wali kota atau
mungkin ada di meja rias ratu Inggris, entahlah. Tak ada yang tau. Kakek juga
bisa memiliki banyak kemampuan lain, sperti membuat layang-layang, membuat
binatang lucu dari kertas, dan banyak lagi. Satu hal yang pasti, pekerjaan
kakek yang selalu di rumah membuat kakek bisa selalu merawat dan menjaga
Jintan.
Jintan
tak pernah bertemu dengan orang tuanya. Hanya foto-foto lama yang bisa
membuatnya menatap wajah keedua orang tuanya. Hanya selembar foto hitam putih
lusuh yang dulu tersimpan di dompet kakek yang bisa membuatnya merasa terhubung
kembali dengan kedua orang tuanya.
“Ayah mu sangat suka laut. Sehingga,
untuk terus hidup dalam mimpinya, ia menjadi seorang nahkoda jintan. Ia sudah
mengarungi lautan luas Jintan. Kau sebut saja Galapagos, Tanduk Emas, India,
Semenanjung Malaka, sudah pernah dia singgahi. Namun kehendak dewa tak
terbantahkan. Amukan laut membawa nya dan juga kapalnya menuju palung terdalam
yang tak pernah dijamah manusia hidup.” Kenang kakek denga guratan kesedihan
yang kembali muncul di sudut mata kakek.
“Ibumu?” Kakek seperti bisa membaca
pikiran ku dan melanjutakn ceritanya.
“ Ia bak bidadari yang dapat
meluluhkan hati ayahmu. Mereka bertemu di negri Campa. Ibumu adalah keturunan
bangsawan campa yang juga emiliki darah Jepang. Mereka kemudian menikah dan
menetap di sini. Kehidupan mereka sangat bahagia. Sangat bahagia. Apalagi
ketika mereka tau akan segera dianugrahi seorang anak.” Tiba-tiba dia tercekat
“Sudah, sekarang cepat habiskan makananmu dan berangkat
ke sekolah”.
Ah,
Mereka adalah idolaku batin mu. Aku ingin menjadi seperti ayah. Bisa
berkeliling dunia. Bukan hal yang mustahil, tapi aku ragu kau bisa
melakukannya sekarang.
*
Hari ini adalah hari pertama setelah libur musim panas
yang panjang. Kelas terasa membosankan mengingat dua hari yang lalu kakek masih
mengajarkan Jintan dengan sabar bagaimana cara membuat binatang-binatang lucu
dari kertas.
“Jika kalian bisa
membuat seribu bangau, dewa di atas langit akan mengabulkan permintaan kalian”
Jelas bu guru di depan kelas. Kata-kata bu guru tadi siang terngiang dari tadi
di telinganya. Benarkah itu? apakah dengan membuat seribu bangau, bisa
mengabulkan keinginan Jintan?
*
“Setelah dilipat dua, lalu bentuk seperti serbet dan
begini, lalu kembangkan sayapnya” kata kakek, Jintan memperhatikan kakek dengan
seksama.
“Apakah kau ingin membuat seribu bangau, Jintan? Ah,
kalau begitu orang tua ini juga akan membuat seribu bangau”
“Untuk apa kek?”
“Jelas untuk mu, Jintan”
Kau
gembira sekali. Aku juga gembira. Sejak saat itu walaupun tanpa kata-kata kita
seperti mengikrarkan janji untuk selalu bersama-sama, menyelesaikan misi ini.
Seribu bangau untuk bertemu ibu.
Aku
selalu ada di tepi jendela. Apakah aku suka? Entahlah, hanya saja sinar
matahari tersa sangat menyegarkan bagiku. Apalagi, dari sini aku bisa melihatmu
dengan giat membuat bangau-bangau lucu itu.
“Empat ratus delapan puluh tiga” Kau berteriak senang. Saat
itu kau sudah kelas lima. Kemajuan yang umayan, mengingat kau hanya membuat
satu bangau setiap dua atau tiga hari. Terlalu
sibuk batinmu. Aku tidak tau apakah baseball dan membaca komik adalah salah
satu faktor kesibukan mu yang membuat kau lalai dari misi membuat bangau-bangau
ini.
*
Kau adalah anak yang periang dan
aktif. Aku bisa tau karena kau memiliki banyak teman. Hampir setiap hari kau
pasti pulang bersama teman-teman mu. Jika aku jadi teman disekolah mu, aku juga
pasti akan terus pulang bersama mu, kau tau? Kau punya wajah yang lucu, jika
kata anak perempuan yang girang setelah mlambaikan tangan perpisahan sebelum
bertemu besok pagi disekolah adalah tampan.
Namun aku tak setuju.
Kakek
selalu mengajak kita untuk makan malam bersama. Entah siapa yang memasak. Aku
tak tau, aku tak pernah melihat kakek pergi ke dapur atau memang aku yang tidak
pernah memperhatikan kakek? Entahlah, hanya saja sepertinya makan malam kali
ini cukup lezat. Kalian takzim sekali berbagi cerita hari ini. Kakek juga
*
Pagi, 3 Maret yang aneh. Hari ini kabut menyelubungi
kota. Kau tak tau mengapa. Lalu kau bergumam di depan jendela, didekatku,
“kenapa gelap sekali pagi ini?” Mata mu sembab. Tapi kau dengan jelas melihat
orang-orang beraktivitas seperti biasa. Lalu kau kembali tertidur.
Masa remaja membawa mu ke dunia yang
lebih mengasyikkan. Menonton, jalan-jalan, menghabiskan sore bersama
teman-teman, Pesta ulang tahun Yuki-sahabat barumu-, pergi jajan di festival.
Kau kini sibuk dengan dunia mu. Jintan sekarang sudah berubah. Tidak lagi
seperti dulu. Bukan anak-anak yang selalu tunjuk tangan ketika guru bertanya di
kelas. Tidak lagi jintan yang disukai orang di sekolahan.
Jintan
yang kini suaranya seperti bass yang nyaring mulai mengecat rambutnya. Putih
mungkin menarik, dulu kau pikir. Bukan ide yang agus tapi kau pede saja
dengannya. Teman-teman mu mulai berubah, tidak lagi orang-orang menyenangkan di
samping rumah. Hanya preman-preman SMA yang selalu ada di samping mu. Bosan kau
bilang. Aku tak tau, apakah mendapat nilai bagus di sekolah dapat membuat
seseorang bosan.
Kakek
selalu sabar menghadapi mu. Kakek sudah membiarkan mu memutuskan sendiri keinginan
mu semenjak kau berusia 17 tahun. Kau memaksa kakek begitu karena dulu kakek
melepas ayah di usia 15 tahun. Kakek tidak bisa marah, ia menyetujuinya dan
hanya bisa menasihati mu.
Kau
mulai pulang malam sekarang. Semenjak kuliah di universitas kau berubah.
Terkadang aku bisa mencium bau menyengat dari kemeja mu yang lembab. “Tertumpah
minuman teman” kau bilang dengan setengah sadar. Padahal mulut mu juga
mengeluarkan aroma yang sama.
Sudah
lama kau tidak melakukan makan malam dengan kakek, terkadang kau pulang saat
kakek sudah menyiapkan makan malam namun kau melewatinya dan langsung masuk ke
kamar. Mengurung diri. Aku lupa kapan tepatnya kau mulai melakukan hal aneh
seperti ini. Ah, aku ingat. Saat pagi berkabut itu kau tak sengaja melihat
dokumen-dokumen ayah. Salah satunya adalah surat perceraian dan secarik kertas.
Kalau aku tidak salah, isinya tentang ayah mu yang sudah tidak mencintai ibu mu
lagi.
Kau
menyesal dengan keputusan mu yang mengidolakan ayah mu. Kamu marah kepada kakek
mu yang selalu mengatakan hal-hal baik tentang nya. Padahal dia sudah
meninggal, kenapa harus menutupi kesalahan-kesalahannya? Kau termenung lama
menatapi langit-langit kamar. “sembilan ratus sembilan puluh sembilan”
Tiba-tiba kau teringat dengan angka itu. kau baru akan menggenapkannya ketika
saatnya sudah tepat. Baru saat ini kau sada akan janjimu unutuk membuat bangau.
“Ah, persetan” kau mengamuk lalu jatuh tertidur.
Pagi
itu seperti biasa. Kakek bangun pagi seperti yang biasa ia lakukan. Aku terus
ada di depan jendela. Terduduk. Pagi ini aku mungkin kau juga mendengar suara
kakek yang terbatuk batuk. Tak jelas apa gumamannya. Mungkin itu penyakit
tuanya. Badan kakek yang dulu kuat sudah tak bisa diandalkan lagi Tangannya
yang dulu begitu teliti kini tak bisa diajak untuk membuat karya bagus lagi.
“Jintan, apakah kau sudah sarapan?”
“Aku tidak lapar. Aku akan langsung
pergi” kau menjawab ketus sambil memasang tali sepatu.
“Kemarilah, suah lama kau tidak
bercerita dengan orang tua ini. Kemari dan makan lah”
Otaknya
berontak tak mau, ia ingin segera pergi bertemu dengan temannya tapi hatinya
seperti mengambil alih seluruh kerangkanya dan membawa Jintan duduk di depan
kakek.
“Makan lah dulu, kau harus kuat.
Sepertinya cucu kakek semakin bertambah kurus” sambil menyodorkan kari hangat.
“Kenapa kakek dulu berbohong tentang
ayah? Tentang ibu? Tentang hubungan mereka? Apakah aku tidak layak tau tentang
itu? kenapa kakek merahasiakannya dari ku?” Tiba-tiba pertanyaan yang
dipendamnya sejak dulu keluar dari mulutnya. Kakek yang tadi masih memegang
sumpit lalu meletakkan sumpitnya.
“Aku sudah tau kau akan bertanya
sepeti ini. Aku tidak pernah ingin mengatakannya. Karena aku sudah bejanji
kepada diriku sendiri unuk tidak mengatakan itu langsung kepada mu. Biarlah
kaus endiri yangtau. Namun karena kelalaianku, kau tau sebelum kau dewasa,
Jintan. Kau tak siap untuk mendengarnya. Begitupun kakekmu ini yang tak siap
menghadapi perubahan mu itu. Jantungku tak sanggup menerima kelalaianku menjaga
mu, Jintan. Aku lupa menyembunyikan berkas itu. Jantung ini begitu lemah,
terakhir aku melihat dirimu terduduk memanggil namaku. Apakah kau lupa? Maafkan
lah kakek Jintan. Aku hanya tidak siap untuk memberitahumu tentang kebenaran
ayahmu, Jintan. Namun biarlah ini menjadi penyesalan ku saja. Ingat seribu
bangau yang dulu aku buat? Bangau-bangau itulah yang membuatku tetap ada hingga
saat ini, tetap berada disamping mu Jintan. Mungkin rasa syok itu menutup
memori mu pada tanggal 3 maret itu. Aku tepat dikubur tanggal 3 maret tahun
itu. Tapi yakinlah, aku masih berada di sini sampai saat ini”
Jintan,
kau lalu masuk ke kamar, melihat aku di sudut jendela. Berdebu. Kau seperti
melihat hantu. Kau teringat dengan bangau itu. kau teringat dengan pagi
berkabut itu. Kau menggenggamku, berlari menuju tempat kerja kakek. Berantakan
tak terurus. Kita kembali ketempat kakek. Menagis, tersedu.
“Selama ini aku masih hidup di situ.
Tapi saat ini kau sudah dewasa, sangat dewasa. Kau tau apa yang harus kau
lakukan.” Kakek menunjuk Jintan tepat di arah jantungnya. Kau ingin memeluk
kakek, namun terlambat, kini bayangan
kakek pun tak bisa kita lihat.
Kau
berteriak. Kau meremasku marah. Ingin ku berontak, namun aku hanyalah secarik
kertas yang kakek buat menjadi bangau kecil. Aku tak bisa melakukan apapun.
Jangankan menghiburmu, berontak dari genggamanmu pun aku tak sanggup.
Hati
mu murka. Seperti tau apa yang sedang terjadi, Tanah pun mulai bergetar. Hebat
sekali, lampu bergerak nai turun. Meja-meja bergeser. Aku seperti mendengar
tanah yang merekah di luar sana. Kau segera menyelamatkan diri dengan aku masih
tergenggam di tangan mu. Kita berlari. Ke tempat yang lebih luas. Benar saja,
ternyata tanah di jalan sebrang telah ternganga seperti luka di hati mu yang
merekah lebar. Ketika kau menganggap guncangan bumi membalas amarah mu tadi.
Kau ternyata salah, satu menit berlalu setelah guncangan tadi berhenti. Dua
menit, sepuluh menit, kau masih terduduk di tengah jalan. Kakek, kenapa aku tidak bisa mengingat hari itu.
“Aku menyesal, tapi aku pun tak tau apa yang harus
disesali”.
Kau
teringat dengan 999 bangau yang telah kau buat, kau kembali ke dalam rumah yang
telah miring 15 derajat itu. belum sempat kita melangkah, amukan air datang
menerpa. Amukannya menyapu apapun yang ada dihadapannya. Aku takut. Kau takut.
Kita berlari menjauh, kau masih menggenggamku. Namun arus air itu seperti ingin
membersihkan penyesalan-penyesalan yang bertaburan ditengah kita ini. Air
menyapu tubuhmu. Kau masih menggenggam ku.
*
Kau bergerak sedikit, mencoba
bangun. Badan mu mati rasa, tapi masih bergerak. Kini aku secarik kertas yang
koyak. Kenapa dulu aku tidak mengingatkanmu untuk menyelesaikan misi kita?
Kini
kau berdiri dihadapan kapal tua, di tengah lapangan yang aku yain tadi adalah
perumahan di tengah kota.[Faturiha]