Isolasi di Tengah Metropolitan
Setiap awal semester genap, mahasiswa penerima manfaat
Beastudi Etos Bogor khususnya akan selalu dihebohkan dengan ERTS. Sekarang
adalah kesempatan kami sebagai penerima manfaat akan memberitahukan kepada adik
tingkat yang sedang bersekolah untuk melanjutkan pendidikannya. Kesempatan ini
adalah kesempatan emas bagi kami untuk menularkan semangat berjuang, semangat
belajar kepada mereka. Semangat berbagi ilmu dan cara adalah salah satu modal
yang harus kami miliki untuk menrjang jalanan, menuju sekolah adik-adik dengan
semagat berbinar itu.
Sekolah Menengah Atas NU Ma’arif. Nama yang menyuratkan
kesan islamiyah. Sekolah yang tidak jauh dari pusat Kota Bogor, hanya perlu
naik dua angkutan kota ke sekolah ini dari kantor Walikota Bogor. Kali pertama
menginjakkan kaki di sekolah itu, sekolah biasa di pinggir jalan Ciomas. Tidak
banyak edagang memang, namun banyak motor yang terparkir di bagian depan
sekolah. Di samping aula besar yang terlihat seperti musholla, aku bertemu
dengan wakil Kepala Sekolah. Alhamdulillah, akhirnya saya diperbolehkan untuk
memberikan persentasi tentang Kuliah Tak Gentar di kelas XII.
Semingu kemudian, Selasa 13 Februari 2018, Diawali
basmalah lalu dengan langkah pasti namun gugup dan ditemani oleh kak Rika,
Etoser 2014 yang sudah sangat berpengalaman berbicara di depan masyarakat, kami
menuju sekolah di tengah kota tersebut. Kami sangat senang akan menceritakan
perjalanan kuliah kami kepada mereka. Kami juga degdegan kalau-kalau kami
memberikan satu dua informasi yang salah dan membuat mereka tersinggung.
Hanya di kelas sederhana. Ya, hanya di kelas sederhana.
Kelas yang dibatasi oleh triplek tipis. Membatasi tiap kelas. Kelas X, kelas
XI, dan kelas XII. Walaupun hari selasa, saat jam sekolah pada umumnya di
pertengahan semester genap, namun hanya sedikit siswa kelas XII yang terlihat.
Setelah kami amati, kebanyakan mereka sudah pulang. Awalnya saya sangat sedih
sekali, gugup seakan-akan kami dianggap tidak jelas dalam menyampaikan.
Alhamdulillah, dari 32 orang kelas XII terkumpul 8 orang yang hadir di kelas
itu.
Sedih? Ya, ituah kata pertama yang saya rasakan dan
terngiang di telinga saya. Kenapa? Apakah strategi dengan mendatangi kepala sekolah
saja kurang cukup? Atau bahkan mereka tidak tau materi Kuliah Tak Gentar ini? Akhirnya,
walaupun hanya 8 orang yang dapat hadir dan duduk di ruang kelas itu, kami membuka
persentasi dengan basmalah.
Mereka adalah tunas bangsa yang memiliki mimpi yang
tinggi. Mimpi untuk membanggakan orang tua mereka, mimpi untuk memutus rantai
kemiskinan, mimpi untuk berguna bagi nusa dan bangsa. Namun saya, mereka tidak
tau apa yang harus dilakukan setelah mereka selesai kuliah. Mereka tidak tau
nama-nama kampus, mereka tidak tau beasiswa untuk kuliah.
Di tengah menjamurnya media sosial dan komunikasi, sarana
pendidikan luput dari mata kita. Mereka yang sudah mengetahui informasi tentang
kampus akan berkutat dengan teman-teman mereka yang se-level. Mereka yang sekolah
hanya karena orang tuanya tidak ingin anaknya hanya sekedar tamat SMP, tidak
tau bagaimana akan melanjutkan sekolah.
Melihat antusiasme untuk sukses yang besar, namun minim
pengetahuan tentangsarana kuliah, kak rik yang sedang berbicara ke depan menyanyakan
cita-cita mereka. Para akhwat kebanyakan ingin menjadi guru ataupun
ustadzah.mereka ingin kehidupan yang pasti dan mengikuti pendidikan yang di
sarankan oleh orang tua mereka. Sedangkan para ikhwan, mimpi mereka besar.
Mereka ada yang ingin menjadi polisi, bisnisman,dan lainnya. Tapi mereka masih
bertanya-tanya, jalan apa yang harus diambil jika ingin bekerja seperti itu.
Hal yang bisa kami lakukan adalah menyemangati mereka,
memberitahu lokasi kampus di sekitar bogor, sambil menceritakan bagaimana
pengalaman kami, yang tidak membayar uang kuliah dan bisa bekuliah sampai
sekarang ini.menyarankan mereka utuk lbih banyak bertanya kepada gurunya dan
sering mencari info pendaftaran kampus-kampus di sekitar Bogor.
Sebagai calon pencerdas bangsa, kita harus bisa membuat
perubahan. Menggrebek ketidaktahuan dan memberikan teladan.